Minggu, 01 November 2009

Studen Hijo, Sebuah Sastra Perlawanan


tulisan ini adalah karyaku yang sengaja dibuat untuk memenuhi tugas MK Sejarah Sastra.

Adakah siswa SMP atau SMA yang mengenal Student Hijo buah karya Marco Kartodikromo? Bagaimana dengan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli atau Salah Asuhan Abdul Muis? Ya, kemungkinan besar jawaban pertanyaan yang pertama adalah tidak ada. Orang-orang baru mengenal setelah duduk di bangku kuliah. Yang kedua tak perlu diragukan lagi, buku-buku itu menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Bagaimana bisa begitu? Padahal Student Hijo juga merupakan salah satu sastra Indonesia. Hal itu tidak lain merupakan campur tangan hegemoni pemerintah kolonial (Belanda) untuk mengkerdilkan dunia sastra pribumi melalui Balai Pustaka.

Student Hijo tentu saja tidak lulus sensor dari penerbit Balai pustaka yang selama ini menentukan kesusastraan Indonesia yang “resmi”. Student Hijo merupakan karya sastra yang melawan arus besar sastra Balai Pustaka ketika itu. Juga bagaimana sastra realisme sosialis lahir dari perlawanannya terhadap karya sastara borjuis. Maka tidak salah, jika Student Hijo serta karya sastra Marco Kartodikromo lainnya disebutkan sastra perlawanan, atau istilah Eka Kurniawan dalam pengantar Dongeng Dari Sayap Kiri sebagai Sastra Berpihak.

Tidak heran jika penerbit buku Indonesia Boekoe (I:Boekoe) memasukkan karya ini ke dalam salah satu bukunya “Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut dibaca Sebelum Dikuburkan”, meskipun pemilihan tidak terlepas dari subjektivitas. Dalam buku ini, subyektivitas itu dibangun oleh empat orang, yaitu An Ismanto, Anton Kurnia, Muhidin M Dahlan, dan Taufik Rahzen. Sedangkan sebagian besar dari buku-buku yang hinggap dalam pikiran dapat ditolak atau diterima dengan menggunakan beberapa ukuran. Beberapa kriteria yang dipakai untuk memutuskan suatu karya sastra ke dalam kelompok buku yang wajib dibaca adalah Pertama, tentu saja, buku itu adalah buku karya sastra Indonesia—dalam pengertian yang paling luas, yang artinya akan mencakup buku-buku sajak, novel, esei, catatan perjalanan, biografi, cerita pendek, lakon/drama, fiksi, cerita silat, komik, dan sebagainya. Dengan atribut “Indonesia” dimaksudkan bahwa buku itu pada mulanya ditulis dalam bahasa Indonesia, Melayu Tinggi dan/atau Melayu Rendah/Pasar/Melayu Lingua Franca. Student Hijo yang ditulis dengan bahasa Melayu rendah /melayu pasar tentu masuk ke dalam kriteria yang pertama ini

Kedua, ia harus “menggoncang” kesusastraan Indonesia. “Goncangan” itu harus timbul sebagai akibat dari daya besar yang dimilikinya sebagai karya sastra. Studen Hijo tentunya sangat memenuhi kriteria yang kedua ini. Tentunya kritia ini adalah kriteria yang lebih utama bila dibandingkan dengan kriteria yang pertama. Novel yang berani mengkontraskan kehidupan di Nederland dan Hindia Belanda mampu menggoncang kesusastraan Indonesia. Marco Kartodikromo dengan karyanya Student Hijo memang terlalu jauh bila dibandingkan dengan Maxim Gorki. Tetapi setidaknya keduanya memiliki persamaan yaitu memiliki jiwa penolakan dan sikap untuk melakukan perlawanan terhadap sastra dan seni pada umumuya yang borjuis, kelas atas, megah. Tak lain karya-karya Balai Pustaka.

Dengan isinya yang melawan pemeritahan colonial Belanda, Student Hijo tentu saja disebut sebagai “bacaan liar”. Penelitian mengenai “bacaan liar” dalam Student Hijo pernah dilakukan secara komprehensif oleh Paul Tickell. Tickell menguraikan struktur analisis antar teks, yakni Student Hidjo sebagai sebuah karya politik yang ditulis oleh seorang penggerak pergerakan dengan Salah Asoehan yang ditulis oleh Abdoel Moeis dan diterbitkan oleh Balai Poestaka. Dalam tesisnya ini Tickell berhasil mengungkapkan hubungan "bacaan liar" dengan pembacanya dan sekaligus membeberkan value (nilai) yang terkandung di dalam teks Student Hidjo. Artinya, Student Hidjo merupakan sebuah karya hasil hubungan kausal antara estetika dan kehidupan sosial, antara kesadaran dan basis material. Selain itu Tickell juga berhasil menjawab bagaimana perspektif negara kolonial dalam memandang "bacaan liar." Kekuasaan kolonial memberi pandangan dan makna untuk "bacaan liar" sebagai bacaan yang mengagitasi rakyat untuk melakukan "pemberontakkan," sehingga penulisnya pun diberi "cap" pengarang liar.

Novel yang ditulis Marco ketika berumur 26 tahun ini berkisah tentang anak pribumi yang sekolah di negeri Belanda. Orang tuanya berharap dengan menyekolahkan Hijo di negeri Belanda derajat kelurganya bisa terangkat. Meskipun mereka sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup para priyayi, status socialnya tetap tidak bisa terangkat. Terutama di mata orang-orang yang dekat dengan goeverment. Ibu Hijo semula khawatir dengan keputusan ini karena takut akan pergulan bebas di negeri Belanda. Namun akhirnya pergi juga.

Di Belanda Hijo terkenal dengan kutu buku yang “dingin” dan mendapat julukan “pendito” sampai banci. Namun seiring dengan berjalannya waktu ia berubah. Hijo terlibat dalam pergaulan bebas seperti yang dikhawatirkan ibunya sebelumnya. Ia terlibat hubungan seksual dengan Betje, anak direktur salah satu maatschapij yang rumahnya ditumpangi Hidjo selama studi di Belanda. Hingga akhirnya ia memutuskan tali cintanya pada Betje karena adanya pertentangan batin karena melakukan aib dan juga karena ada panggilan pulang ke Jawa.

Setelah pulang ke Jawa, Hijo dijodohkan dengan Raden Ajeng Biroe yang masih mempunyai hubungan keluarga, meskipun sesungguhnya Hijo menyukai Raden Ajeng Woengoe, seorang putrid Bupati Jarak yang sangat cantik. Namun akhirnya Hijo bebas untuk memilih wanita idamannya untuk dijadikan sebagai istri. Kedua orang tuanya pun setuju dengan wanita idaman Hijo. Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe. Semua, baik yang menjodohkan dan yang dijodohkan, menerima dan bahagia. Betapa cerita perjodohan tidak selalu berakhir dengan tangis dan sengsara. Juga ditampilkan, bahwa mentalitas Nyai tidak selalu ada dalam diri inlander, yaitu ketika Woengoe menolak cinta Controleur Walter.

Dengan kepergian Hijo ke negeri Belanda juga telah membuka matanya, memberikan paradigma baru. Ia melihat bahwa di negerinya sendiri bangsa Belanda ternyata tidak setinggi yang ia bayangkan. Hidjo menikmati sedikit hiburan murah ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau di rumah tumpangan yang mustahil dilakukan di Hindia.

Student Hijo diterbitkan pertama kali tahun 1918 sebagai cerita bersambung di harian Sinar Hindia. Student Hijo baru muncul menjadi buku setahun kemudian yaitu tahun 1919 oleh V.N Boekhandel en Drukken, MASMAN & STROINK di Semarang. Setelah itu buku ini tidak muncul dan baru diterbitkan kembali dengan dua versi pada tahun 2000 oleh Yayasan Aksara Indonesia dan Bentang, keduanya penerbit dari Yogya.

Student Hijo, setidaknya menegaskan dirinya sebagai sastra berlawanan ketika karya Mas Marco ini menyentuh dan merupakan representasi masyarakat Indonesia ketika itu yang dijajah Belanda. novel ini dengan sangat baik telah mencatat hiruk-pikuk suasana perjuangan bumi putera pada masa awal. Cinta, pendidikan, politik, sosio-kultur, dan bahkan semangat nasionalisme terjalin rapi dalam setiab babnya. Maka tidak berlebihan jika Nova Christina/Litbang KOMPAS memberi komentar pada rubrik pustakaloka (KOMPAS, Sabtu, 21 September 2002) bahwa, “Novel ini sebetulnya sudah membuka suatu soal bahwa kesusastraan bukan sekadar penghibur, tetapi suatu wacana politik dan sosial yang mengemban tugas menembus ruang-ruang publik. Pada gilirannya kesusastraan adalah jalan menuju pembebasan dari belenggu ketertindasan.” Novel inipun lahir sebagai sikap politik dari Mas Marco sendiri yang merupakan aktivis revolusioner yang berpindah dari penjara ke penjara. Selain Student Hijo, Sama Rata Sama Rasa, yang merupakan syair terkenal yang menyuarakan kebencian pada kolonial adalah karyanya yang lahir di penjara. Sikap politik dan perjuangannya melawan kolonial Belanda mengharuskannya ditahan dan dibuang di Boven Digoel dan menghembuskan nafas terakhirnya disana.

Di antara karya-karya Marco Kartodikromo, Student Hijo adalah karya sastra yang paling monumental. Namun dalam buku Lintasan Sastra Indonesia Modern, Jacob Sumardjo mengatakan bahwa karya Marco Kartodikromo yang terpenting adalah Rasa Merdika atau juga disebut Hikayat Soedjanmo. Roman ini menunjukkan adanya pengaruh politik dan komunisme dalam diri Mas Marco. Sebelum menulis Student Hijo, Marco Kartodikromo menerbitkan sebuah novel kontroversial, Mata Gelap, novel ini penuh dengan pornografi sehingga memicu reaksi keras dari masyarakat.

Buku:

KS, Yudiono. 2006. Peta Sejarah Sastra Indonesia. Semarang: Fasindo.

Rosidi, Ajip.1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Sumardjo, Jacob. 1990. Sinopsis Roman Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Sumardjo, Jacob. 1992. Lintasan sastra Indonesia Modern jilid 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Internet:

Ismanto, An. 100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan (Esai 1 dari 20). http://esaibuku.blogspot.com/2009/04/100-buku-sastra-indonesia-yang-patut.html. (diakses tanggal 29 Mei 2009)

Ismanto, An. 100 Buku Sastra: Keras dan Bertendens! (Esei 3 dari 20). http://www.goodreads.com/topic/show/137192-100-buku-sastra-keras-dan-bertendens-esei-3-dari-20. (diakses tanggal 29 Mei 2009)

Jemaridewa. Manusia Pemula Tirto Adhi Soerjo http://jemaridewa.blogspot.com/2009/03/manusia-pemula-tirto-adhi-soerjo.html (diakses tanggal 3 Juni 2009)

Mas Marco Kartodikromo: Dengan Sastra, Ia Mengasah Pena. http://ferdeeansyah.blog.friendster.com/ (diakses tanggal 20 Mei 2009)

Mas Marco Tokoh Pergerakan yang Wartawan http://sejarahkita.blogspot.com/ (diakses tanggal 20 Mei 2009)

Perang Suara: Tulisan-tulisan Mas Marco Kartodikromo (diakses tanggal 20 Mei 2009)

Razif. “Bacaan Liar": Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan. http://www.fortunecity.com/banners/interstitial.html? (diakses tanggal 3 Juni 2009)

Student Hijo : Secukil Potret Sastra Perlawanan (Membincangkan Sastra Realisme Sosialis) http://lsbsi.blogspot.com/2009/01/sastra-realisme-sosialis.html. (diakses tanggal 20 Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar